Minggu, 30 September 2012

Pancasila Dalam Kurikulum di Sekolah



Hari ini bertepatan dengan hari kesaktian Pancasila di sekolah tempat saya mengajar SD Al-Bayan Islamic School mengadakan kegiatan upacara bendera. Seluruh peserta didik dan guru mengikuti upacara dengan penuh hikmat dan disiplin. Rangkaian sesi dalam upacara berjalan dengan lancar dari mulai kenaikan bendera, sambutan pembina upacara, pembacaan teks UUD 1945, pembacaan teks Pancasila sampai pembacaan doa.
Terdapat hal menarik yang disampaikan oleh pembina upacara yang disampaikan oleh Bidang Kurikulum SD Al-Bayan Islamic School. akan urgensi Pancasila dalam konteks berbangsa dan bernegara, ia sampaikan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama karena pada prinsipnya nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila terkandung dalam ajaran semua agama, dan menjadi sangat penting ketika nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dan filsafat bangsa diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila bukan hanya sekedar menjadi ilmu pengetahuan yang diajarkan namun jauh dari aplikasi pelaksanaan sehari-hari.
Melakukan evaluasi pembelajaran atas sejauhmana penerapan nilai-nilai Pancasila mau tidak mau harus mengevaluasi pula sejauhmana efektivitas pelaksanaan kurikulum yang sedang berjalan, secara ideal kurikulum sebagai salah satu pilar  dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional harus senantiasa terevaluasi agar arah pencapaian tujuan pendidikan nasional, visi dan misi sekolah dapat tercapai Maksimal.
Dalam merumuskan kurikulum ke depan sekolah harus berpijak pada landasan pendidikan yang kuat sehingga arah pendidikan akan menghasilkan generasi-generasi berjiwa Pancasila berlandaskan agama yang cinta dan bangga akan tanah airnya yang dengan kecintaan dan kebanggaanya tersebut berusaha berkarya yang terbaik untuk kemajuan sesama, bangsa dan negara. Menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, sedangkan inti dari kurikulum menurut Tyler adalah suatu jawaban secara menyeluruh terhadap beberapa pertanyaan berikut ini:

1. Tujuan-tujuan apa dan maksud-maksud apa yang hendak dicapai oleh sekolah?
2. Kesempatan-kesempatan belajar apa yang dipilih agar terjadi perubahan tingkah laku sesuai dengan harapan?
3. Bagaimana unsur-unsur belajar disusun?
4. Bagaimana penilaian untuk mengetahui keberhasilannya?
Jika keempat jawaban pertanyaan itu telah terjawab, itulah yang dimaksud dengan kurikulum.

Perlu dipahami juga bahwa kehadiran atau penyusunan kurikulum memerlukan landasan agar memiliki pijakan yang kuat. Beberapa landasan yang diperlukan yaitu:

1. Landasan filsafat
Di dalamnya terkandung beberapa pertanyaan mendasar seperti:
a. Apakah hakikat peserta didik?
b. Apakah yang seharusnya dilakukan peserta didik?
c. Apakah yang harus dilakukan peserta didik?
d. Apa yang harus menjadi isi kurikulum?

Jawaban dari keempat pertanyaan itu akan bermanfaat untuk menentukan ke arah mana peserta didik akan dibawa, memberi gambaran tentang hasil yang harus dicapai peserta didik, menentukan cara dan proses untuk mencapai tujuan itu, memungkinkan pendidik menilai usahanya sejauh mana tujuan tercapai, dan memberi motivasi atau dorongan bagi kegiatan-kegiatan pendidikan.

2. Landasan sosiologis
Landasan ini ingin menghubungkan antara kurikulum dan keberadaan masyarakat dengan penekanan utama pada kemampuan fungsi kurikulum dalam ikut membantu pemecahan aneka problem yang dihadapi masyarakat dan bangsa, seperti masalah tawuran, kesehatan, kriminalitas, teknologi, kesempatan kerja, dan sebagainya. Dengan demikian kurikulum harus ada relevansinya dengan kehidupan masyarakat. Masyarakat menentukan bentuk pendidikan yang akan dilaksanakan, sebaliknya sistem pendidikan atau jenis kurikulum dapat memecahkan problema kemasyarakatan.

3. Landasan psikologis.
Psikologi merupakan suatu ilmu yang berhubungan dengan pengertian, peramalan dan pengendalian tingkah laku, perasaan, dan pikiran dari orang-orang. Salah satu cabang psikologi yang berhubungan dengan problema pendidikan adalah psikologi pendidikan. Ilmu ini mempelajari bagaimana peserta didik belajar dan cara yang terbaik untuk mengajar.
Jadi psikologi pendidikan merupakan penerapan prinsip-prinsip psikologi terhadap problema proses pembelajaran. Pijakan psikologi tersebut membawa kita mengenal berbagai macam teori belajar, kurikulum yang harus berpusat pada siswa, ada kesinambungan antara topik pertama dengan topik berikutnya, urutan penyusunan dari yang sederhana ke hal yang kompleks.

Akhirnya menjadi sangat penting bagi manajemen sekolah untuk mengevaluasi sejauhmana efektivitas kurikulum yang sedang berjalan, tolak ukur untuk menilai sejauhmana efektivitas pelaksanaan kurikulum yang sedang berjalan dengan berpijak pada apa yang disampaikan Tyler dan juga 3 landasan dalam perumusan kurikulum yaitu landasan filsafat, landasan sosiologis dan landasan psikologis.



Pemuda Garda Terdepan Pengusung Pancasila



Hari ini kita bangsa Indonesia memperingati hari kesaktian Pancasila. Pancasila yang dirumuskan sebagai dasar dan filsafat bangsa Indonesia dalam perjalanannya belum benar-benar menjadi panduan, pedoman dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila lebih pada bagian ritual yang harus ada pada setiap upacara bendera, Pancasila baru sebatas hiasan di dinding-dinding sekolah atau sekedar memperkenalkan Pancasila dalam kurikulum sekolah, maka tidaklah heran jika banyak para pelajar, pemuda, masyarakat bahkan pejabat yang lupa dengan sila-sila yang terdapat dalam Pancasila. Sejatinya Pancasila sebagai dasar dan pedoman berbangsa dan bernegara menyentuh pada tataran nilai-nilai yang harus dapat teraplikasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Membicarakan masalah pemuda dalam benak kita akan terbayang tentang semangat, idealisme, perjuangan pantang menyerah, dan akan ideal bila bicara pemuda juga bicara masalah pancasila. Berikut terdapat artikel yang mungkin akan dapat mencerahkan pemahaman kita mengenai Pancasila dan pemuda.
Mayoritas bangsa ini, secara umum, telah mengalami degradasi nasionalisme. Tak hanya gerusan arus budaya asing yang menjadi sebab, melainkan kesadaran kolektif yang membentuk aral kesadaran bernegara kita, khususnya generasi muda. Mereka kini tak bangga lagi menyanyikan “Indonesia Raya” sebagai pemersatu bangsa, atau “berjiwa Pancasila” sebagai personifikasi dari kecintaan akan tanah air.
 Ini mungkin persoalan sepele bagi sebagian orang, mengingat terlalu banyaknya persoalan-persoalan besar yang menimpa bangsa ini, seperti kasus Korupsi, NII, dan kasus-kasus lain. Padahal kalau kita renungi dalam-dalam, apa sebenarnya yang membuat persoalan besar itu ada?. Tentu semuanya bermula dari kasus atau persoalan kecil. Itulah bentuk pengakuan pada realitas aktual pada diri kita sebagai sebuah bangsa, di kalangan anak muda dan remaja khususnya.
 Apa sih gunanya Pancasila itu? Sangat mengkhawatirkan jika kita mendengar rasa pesimis yang ditunjukkan oleh sebagian generasi muda sekarang. Apakah cukup dengan “enggak tahu!” untuk menjawab pertanyaan itu. Mungkin begitu jawaban yang ada jika seseorang sudah pesimis terhadap berbagai persoalan yang menimpa bangsa ini. Atau lebih parahnya lagi jika kelak generasi muda akan menjawab, ”enggak peduli!”. Kadang sikap yang muncul hanya karena dilatarbelakangi ”dendam” berlebihan kepada Orde Baru, termasuk pada produknya, sehingga Pancasila masih dianggap sebagai jimat ideologis yang memerangkap kita ke dalam kultur dan legitimasi kekuasaan.
Kenapa Generasi Muda?
 Generasi muda sebagai sekumpulan individu yang amat beragam tentu di dalamnya terdapat berbagai ide dan keinginan yang berbeda-beda. Keragaman itu menciptakan dinamika tersendiri. Untuk bisa mengikuti dinamika generasi muda tersebut dibutuhkan instrumen yang mampu menambah wawasan pengetahuan dan pengalaman sebagai bekal berinteraksi dengan sesamanya.
 Kemudian, bagaimana mengajak generasi muda agar berjiwa Pancasila?. Nampaknya guru-guru pengajar/dosen Pancasila setiap tahun selalu mengalami kesulitan mengajar. Sebab, apa lagi yang mau diajarkan karena materinya dinilai itu-itu saja. Metode pendalaman Pancasila seperti itu menyebabkan generasi muda tidak mendapat penjelajahan yang memadai mengenai isi dan bentuk implementasi Pancasila.
 Tidak perlu kita berangan-angan besar untuk menggelar diskusi pemuda berskala nasional/internasional atau kegiatan sejenis terus menerus. Tidak semuanya terukur dalam kuantitas semata, tetapi arti sebuah kualitas walau sedikit tetapi tepat adalah yang menjadi harapan kita semua. Kembali kepada keluarga dan lingkungan. Lingkungan di sini adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan pendidikan. Disitulah letak keseharian mereka menghabiskan waktunya.
 Padahal kalau kita renungi dalam-dalam, apa sebenarnya yang membuat persoalan besar itu ada?. Tentu semuanya bermula dari kasus atau persoalan kecil. Dalam keluarga misalnya, apakah orang tua sudah menjadi teladan yang baik untuk anak-anaknya. Mengajarkan sikap toleransi dan menghargai sesama anggota keluarga, juga dengan tetangganya. Begitu juga dalam lingkungan pendidikan, kadang kita habis-habisan menyalahkan siswa yang merokok dan tidak berpakaian sopan. Tetapi kenyataannya sering juga siswa bilang “guru saya saja juga merokok, bahkan berpakaian yang lebih kurang sopan daripada saya”. Kemudian lingkungan masyarakat adalah yang paling berperan, karena disinilah mereka bersosialisasi dan berperilaku dengan sesamanya. Apa yang ditiru dan apa yang dikatakan semua berasal dari lingkungan ini. Bagaimana jadinya jika tokoh masyarakat, tokoh agama tidak memberikan teladan yang baik.
 Jawaban-jawaban di atas tampaknya terlalu ekstrem bagi sebuah persoalan yang dianggap sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa kita sekarang ini. Namun, begitulah kenyataan alamiah atau ilmiah yang terjadi. Dan merupakan pengakuan pada realitas aktual pada diri kita sebagai sebuah bangsa, di kalangan anak muda dan remaja khususnya. Keteladanan adalah kuncinya.

Berkaca dari persoalan besar itulah maka tindakan untuk “penyelamatan” terhadap generasi muda mendesak untuk dilakukan. Benih kasus-kasus kecil, seperti perkelahian pelajar, demo anarkis, dan tindakan asusila yang banyak menimpa generasi muda sekarang adalah bukti lemahnya kontrol terhadap generasi muda. Tidak ada kata terlambat untuk melakukan perubahan dan “penyelamatan” generasi muda demi masa depan bangsa.
 Oleh karena itu perlu dianggap penting untuk terus mendorong generasi muda agar senantiasa bersikap sesuai dengan nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia. Yakni berjiwa Pancasila. Sebab nantinya generasi mudalah benteng hidup yang mampu memahami hal-hal yang berkaitan dengan masa depan bangsanya. Seiring dengan peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2011, semoga rohnya mampu memberikan harapan terhadap lahirnya ide-ide baru dari generasi muda guna penjangkaran atau pengakaran nilai-nilai Pancasila lebih dalam di masyarakat
 Bayangkan, jika kelak generasi muda kita punya tekad kebangsaan yang kuat. Radikalisasi yang mengancam negara, mungkin hanya sekedar dicibir dan lantas mereka bilang “tubuhku ini Indonesia, dan kalau mau dibelah di dalamnya ada Pancasila”.


Dilema Kursi Goyang



Catatan Atas Pudarnya Sebuah Idealisme


Dalam aktivitas browsing yang terkadang saya lakukan, saya dapatkan sebuah artikel menarik mengenai gambaran sebuah idealisme yang akhirnya pupus tergerus oleh waktu. Kembali artikel tersebut saya muat untuk mengingatkan kita semua mantan aktivis pergerakan mahasiswa yang kini duduk sebagai pejabat negara baik dilegislatif, eksekutif maupun yudikatif,  aktivis pergerakan yang dahulu senantiasa berteriak bak penguasa jalanan dengan lagu perjuangan khas mahasiswa yang berbunyi ‘’kepada para mahasiswa yang merindukan kejayaan, kepada rakyat yang kebingungan dipersimpangan jalan, kepada pewaris peradaban dilembar sejarah manusia, wahai kalian yang rindu kemenangan, wahai kalian yang turun ke jalan demi mempersembahkan jiwa dan raga untuk negeri tercinta….’’. Kini melalui tulisan ini mungkin memberikan gambaran kondisi hati para mantan aktivis tersebut. Dan sebuah harapan akan muncul kembali idealisme tersebut untuk membawa kemajuan bangsa dan negara

****

Seorang paruh baya, terduduk dalam kursi goyangnya. Ia memejamkan mata , menengadahkan kepalanya dengan sedikit senyuman yang mengembang dari wajahnya. Kursi itu terus bergoyang dan menenggelamkan tuannya dalam lamunannya yang jauh. Kerut dahi dan senyuman yang mulai memudar dari wajahnya, menyiratkan bahwa ia sedang berkelana dalam lorong waktu pikirannya. Tahukah kau kursi goyang? Tuanmu bukanlah seorang yang biasa. Dia adalah salah satu dari sejumlah manusia-manusia lini depan di negeri nan subur ini, Indonesia.

Konon, dia adalah seorang yang hebat. Dalam balutan rambutnya yang mulai memutih samar, kecerdasan pemikirannya terpancar. Kecerdasan yang terwujud dalam setiap kata yang ia ucapkan dibalik sebuah kaca dengan bingkai kotak hitam, untuk rakyatnya di seluruh penjuru negeri. Ia berbicara tentang kondisi ekonomi di negeri ini, berbicara tentang kebijakan dan berbicara tentang kesejahteraan rakyat. Sungguh hebat bukan main. Terkenal, jaminan kehidupan, dan kelas sosial yang langsung menanjak ke level teratas.

Penghormatan dan pujian dari rakyat? Tidak selamanya seperti itu. Bagaikan duduk di atas kursi goyang, bergejolak, tetapi membuai. Membawa kita mngikuti iramanya, terlena, bahkan tertidur. Melupakan planning yang telah tersusun karena buaian kenikmatan bukan main.

Seseorang paruh baya menerawang memori masa lalunya kala ia berdiri tegak, mengenakan jaket almamater dan menggenggam sebuah idealisme. “ Membangun negeri ini menjadi lebih baik, membela kepentingan rakyat, memberantas korupsi yang kian mendarah daging di tanah airku, Indonesia.” Dengan lantang kalimat itu ia teriakkan dan terpatri dalam keteguhan hati. “……hingga saat aku menjadi pemimpin nanti!” Sungguh masa yang penuh ambisi dan idealisme tak terbendung. Seseorang paruh baya mengukir senyum kecil, “ aku pernah mengucapkan itu kursi goyang, aku adalah seseorang dengan idealisme yang telah aku tanam dalam-dalam, kala itu…”

Kursi goyang tetap mempertahankan iramanya, mengembalikan seseorang paruh baya dalam kenyataan hidup masa sekarang. Kini, senyuman kecil yang sempat merekah menampakkan kerutan dahi kembali, seolah ia sedang berpikir keras. Suara-suara teriakkan itu kian terdengar keras. Suara-suara yang membawanya melihat dirinya di masa lalu.

Posisi yang sama ketika ia mengenakan jaket almamater kebanggaan itu. Dengan suara yang lantang, membawa semangat yang tinggi, menuntut para penjajah bangsa sendiri. Para ‘manusia lini depan’ yang tak becus mengurus bumi pertiwi! Rakyat kelaparan, bodoh, dan penyakitan, sedang mereka duduk manis diatas kursi goyangnya sambil menghisap cerutu atau secangkir kopi arabika. “Bertindak tanpa memperhatikan nasib rakyat kecil!”

“ Dan sekarang aku menjadi mereka kursi goyang.” Kerutan di dahinya seolah menunjukkan dilema dalam akal dan jiwanya. Dulu ia manusia dengan idealismenya yang tinggi dan kini ia duduk dalam kursi goyangnya dan pemuda-pemuda itu berteriak mengecamnya. “ Aku tahu kursi goyang, mungkin kau bertanya dimana idealisme yang aku tanamkan di masa itu. Aku tidak lupa akan idealisme itu, aku benar-benar mengingatnya. Namun, jika kau tahu, kursi goyang ini terlalu indah untuk ditinggalkan. Sedang, hanya ada satu pilihan untuk tetap bertahan diatasnya, kompromi. Aku harus kompromi dengan diriku sendiri. Kemudian aku memilih untuk berpura-pura melupakan idealismeku dan aku tetap bertahan disini. Bersama kehormatan dan seluruh kenikmatannya.”

Seseorang paruh baya membuka matanya, melihat jendela di sudut ruangnya. Ternyata, bukan hanya dia. ‘Manusia-manusia lini depan pemerintahan’ yang terbuai dengan kursi goyangnya, bahkan hampir semuanya. Menetapkan kebijakan-kebijakan tanpa memperhatikan nasib rakyat kecil. Menimbun tumpukan rupiah hanya dengan duduk diatas kursi itu tanpa keringat, hanya dengan alasan “tugas kami berat”. Sedangkan rakyat? Tetap terpelihara melarat.

Kursi goyang itu adalah sebuah simbol jabatan, simbol kekuasaan. Sebuah dilema diatas kursi goyang, ketika kekuasaan harus melawan idealisme. Kursi goyang, sebuah gambaran akan kondisi para pemimpin di negeri ini. Para insan yang terlena, yang kehilangan idealismenya (menghilangkannya).

Sabtu, 29 September 2012

Remaja SMA dan Tawuran




Dalam kurun waktu seminggu pemberitaan media massa menyuguhkan berkisar mengenai maraknya tawuran pelajar yang mengakibatkan jatuhnya korban meninggal dunia.  Banyak kalangan yang menilai membahas masalah tawuran harus secara komprehensif, harus secara menyeluruh, masalah tawuran bukan hanya tanggungjawab pendidikan formal melalui institusi sekolah, masalah tawuran adalah juga menjadi tanggungjawab pendidikan informal keluarga didalamnya dan juga pendidikan nonformal dimana lingkungan masyarakat berperan.

Memahami terjadinya tawuran mau tidak mau harus memahami karakteristik pelajar di usia remaja. Pelajar SMA masuk dalam usia remaja, usia remaja disebut juga sebagai masa transisi dimana terjadi perubahan pada diri remaja baik  secara fisik, psikis maupun sosial, dalam masa transisi tersebut remaja cenderung melakukan penyimpangan salah satunya tawuran. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di usai remaja terutama pada anak SMA semisal tawuran bukan hanya karena faktor masa transisi namun diperburuk dengan pola asuh dalam keluarga atau kondisi keluarga, faktor solidaritas pertemanan, lemahnya kurikulum sekolah, lemahnya peran guru dalam mendidik di sekolah dan lemahnya masyarakat dalam melakukan pendidikan sosial dan kontrol sosial.

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberikan pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembang remaja. Keluarga yang penuh kehangatan, penuh cinta dan penuh keharmonisan, keluarga yang memahami benar akan urgensi mendidik anak di usia remaja dengan melakukan pola asuh berupa pengembangan komunikasi antara orang tua dan anak, penanaman nilai-nilai agama, memberi peran dan tanggung jawab, memberikan pujian atau penghargaan, mengembangkan kerja sama, menanamkan saling mengasihi dan hormat, pemberian contoh dan memelihara keakraban dalam keluarga akan menjadikan kepribadian remaja berkarakter kokoh, kuat dan mulia sehingga akan menurunkan kemungkinan remaja melakukan penyimpangan. Sebaliknya keluarga yang tidak harmonis, akan meningkatkan kemungkinan remaja melakukan penyimpangan semisal memakai narkoba, clubbing, dan tawuran.

Dalam mengatasi permasalahan tawuran bukan hanya keluarga namun juga peran sekolah sangat penting, sekolah sebagai institusi pendidikan harus fokus pada tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yaitu memastikannya berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, jika seluruh institusi pendidikan fokus pada pencapaian tujuan pendidikan maka dipastikan akan menurunkan angka tawuran antar pelajar. Sekolah yang bermutu tidak hanya sekolah yang telah memenuhi 8 standar nasional pendidikan, sekolah bermutu bukan hanya sekolah yang mampu menuntaskan kurikulum pendidikan dengan hasil yang memuaskan sekolah bermutu juga sekolah yang mampu menyiapkan peserta didik sebagai bagian dari pemberi solusi atas setiap permasalahan bangsa sekolah yang mampu melahirkan generasi-generasi unggul berkarakter kuat dan mulia dan itu semua lahir  dari kesadaran kolektif seluruh warga sekolah seperti kepala sekolah dalam merumuskan kebijakan, mengevaluasi kebijakan, guru konsisten mengajar sesuai  4 kompetensi dan menyisipkan nilai-nilai karakter dalam setiap pembelajaran, mengenali, mengembangkan dan mengarahkan minat dan bakat peserta didik serta memahami, mengamati dan mengarahkan kecenderungan berkelompok peserta didik.

Peran yang dapat menurunkan bahkan menghilangkan tawuran selain keluarga, dan sekolah adalah masyarakat. Masyarakat dapat melakukan fungsi controling dengan cara memberikan informasi jika ada indikasi para pelajar akan melakukan tawuran atau pelajar menitipkan benda-benda tajam disekitar lingkungan sekolah seperti diwarung dekat sekolah.

Akhirnya remaja yang masuk dalam masa transisi memerlukan 10 kebutuhan psikologis antara lain kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan rasa cinta, kebutuhan penghargaan, kebutuhan pengetahuan, kebutuhan kesuksesan, kebutuhan afiliasi, kebutuhan motivasi, kebutuhan akan kebebasan dan kebutuhan akan kontrol. Jika 10 kebutuhan psikologis remaja tersebut terpenuhi baik dalam keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat maka akan tumbuh remaja-remaja ideal yang unggul, remaja-remaja yang siap meneruskan estafet perjalanan bangsa Indonesia.