Catatan
Atas Pudarnya Sebuah Idealisme
Dalam aktivitas browsing yang
terkadang saya lakukan, saya dapatkan sebuah artikel menarik mengenai gambaran
sebuah idealisme yang akhirnya pupus tergerus oleh waktu. Kembali artikel
tersebut saya muat untuk mengingatkan kita semua mantan aktivis pergerakan
mahasiswa yang kini duduk sebagai pejabat negara baik dilegislatif, eksekutif
maupun yudikatif, aktivis pergerakan
yang dahulu senantiasa berteriak bak penguasa jalanan dengan lagu perjuangan
khas mahasiswa yang berbunyi ‘’kepada
para mahasiswa yang merindukan kejayaan, kepada rakyat yang kebingungan
dipersimpangan jalan, kepada pewaris peradaban dilembar sejarah manusia, wahai
kalian yang rindu kemenangan, wahai kalian yang turun ke jalan demi
mempersembahkan jiwa dan raga untuk negeri tercinta….’’. Kini melalui
tulisan ini mungkin memberikan gambaran kondisi hati para mantan aktivis
tersebut. Dan sebuah harapan akan muncul kembali idealisme tersebut untuk
membawa kemajuan bangsa dan negara
****
Seorang paruh baya, terduduk dalam
kursi goyangnya. Ia memejamkan mata , menengadahkan kepalanya dengan sedikit
senyuman yang mengembang dari wajahnya. Kursi itu terus bergoyang dan
menenggelamkan tuannya dalam lamunannya yang jauh. Kerut dahi dan senyuman yang
mulai memudar dari wajahnya, menyiratkan bahwa ia sedang berkelana dalam lorong
waktu pikirannya. Tahukah kau kursi goyang? Tuanmu bukanlah seorang yang biasa.
Dia adalah salah satu dari sejumlah manusia-manusia lini depan di negeri nan
subur ini, Indonesia.
Konon, dia adalah seorang yang hebat. Dalam balutan rambutnya yang mulai memutih samar, kecerdasan pemikirannya terpancar. Kecerdasan yang terwujud dalam setiap kata yang ia ucapkan dibalik sebuah kaca dengan bingkai kotak hitam, untuk rakyatnya di seluruh penjuru negeri. Ia berbicara tentang kondisi ekonomi di negeri ini, berbicara tentang kebijakan dan berbicara tentang kesejahteraan rakyat. Sungguh hebat bukan main. Terkenal, jaminan kehidupan, dan kelas sosial yang langsung menanjak ke level teratas.
Konon, dia adalah seorang yang hebat. Dalam balutan rambutnya yang mulai memutih samar, kecerdasan pemikirannya terpancar. Kecerdasan yang terwujud dalam setiap kata yang ia ucapkan dibalik sebuah kaca dengan bingkai kotak hitam, untuk rakyatnya di seluruh penjuru negeri. Ia berbicara tentang kondisi ekonomi di negeri ini, berbicara tentang kebijakan dan berbicara tentang kesejahteraan rakyat. Sungguh hebat bukan main. Terkenal, jaminan kehidupan, dan kelas sosial yang langsung menanjak ke level teratas.
Penghormatan dan pujian dari rakyat? Tidak selamanya seperti itu. Bagaikan duduk di atas kursi goyang, bergejolak, tetapi membuai. Membawa kita mngikuti iramanya, terlena, bahkan tertidur. Melupakan planning yang telah tersusun karena buaian kenikmatan bukan main.
Seseorang paruh baya menerawang memori masa lalunya kala ia berdiri tegak, mengenakan jaket almamater dan menggenggam sebuah idealisme. “ Membangun negeri ini menjadi lebih baik, membela kepentingan rakyat, memberantas korupsi yang kian mendarah daging di tanah airku, Indonesia.” Dengan lantang kalimat itu ia teriakkan dan terpatri dalam keteguhan hati. “……hingga saat aku menjadi pemimpin nanti!” Sungguh masa yang penuh ambisi dan idealisme tak terbendung. Seseorang paruh baya mengukir senyum kecil, “ aku pernah mengucapkan itu kursi goyang, aku adalah seseorang dengan idealisme yang telah aku tanam dalam-dalam, kala itu…”
Kursi goyang tetap mempertahankan iramanya, mengembalikan seseorang paruh baya dalam kenyataan hidup masa sekarang. Kini, senyuman kecil yang sempat merekah menampakkan kerutan dahi kembali, seolah ia sedang berpikir keras. Suara-suara teriakkan itu kian terdengar keras. Suara-suara yang membawanya melihat dirinya di masa lalu.
Posisi yang sama ketika ia mengenakan jaket almamater kebanggaan itu. Dengan suara yang lantang, membawa semangat yang tinggi, menuntut para penjajah bangsa sendiri. Para ‘manusia lini depan’ yang tak becus mengurus bumi pertiwi! Rakyat kelaparan, bodoh, dan penyakitan, sedang mereka duduk manis diatas kursi goyangnya sambil menghisap cerutu atau secangkir kopi arabika. “Bertindak tanpa memperhatikan nasib rakyat kecil!”
“ Dan sekarang aku menjadi mereka kursi goyang.” Kerutan di dahinya seolah menunjukkan dilema dalam akal dan jiwanya. Dulu ia manusia dengan idealismenya yang tinggi dan kini ia duduk dalam kursi goyangnya dan pemuda-pemuda itu berteriak mengecamnya. “ Aku tahu kursi goyang, mungkin kau bertanya dimana idealisme yang aku tanamkan di masa itu. Aku tidak lupa akan idealisme itu, aku benar-benar mengingatnya. Namun, jika kau tahu, kursi goyang ini terlalu indah untuk ditinggalkan. Sedang, hanya ada satu pilihan untuk tetap bertahan diatasnya, kompromi. Aku harus kompromi dengan diriku sendiri. Kemudian aku memilih untuk berpura-pura melupakan idealismeku dan aku tetap bertahan disini. Bersama kehormatan dan seluruh kenikmatannya.”
Seseorang paruh baya membuka matanya, melihat jendela di sudut ruangnya. Ternyata, bukan hanya dia. ‘Manusia-manusia lini depan pemerintahan’ yang terbuai dengan kursi goyangnya, bahkan hampir semuanya. Menetapkan kebijakan-kebijakan tanpa memperhatikan nasib rakyat kecil. Menimbun tumpukan rupiah hanya dengan duduk diatas kursi itu tanpa keringat, hanya dengan alasan “tugas kami berat”. Sedangkan rakyat? Tetap terpelihara melarat.
Kursi goyang itu adalah sebuah simbol jabatan, simbol kekuasaan. Sebuah dilema diatas kursi goyang, ketika kekuasaan harus melawan idealisme. Kursi goyang, sebuah gambaran akan kondisi para pemimpin di negeri ini. Para insan yang terlena, yang kehilangan idealismenya (menghilangkannya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar