BAB I
Pendahuluan
1. Latar
Belakang
Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk
mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah
ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat
sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang
dikenal sebagai tujuan instruksional.
Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi
sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka
mencapai tujuan oranisasi.
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis
sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school
self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau
manajemen yang bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah
tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda.
Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan
dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya
dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.
1.
Penyerahan
otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan
adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka
Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS).
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan rosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.
Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota2 masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
Batasan masalah :
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan rosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.
Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota2 masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
Batasan masalah :
1)
Apa itu
Manajemen Sekolah
2)
Apa yang dimaksud dengan manajemen berbasis
sekolah (MBS)
3)
Apa manfaat manajemen
berbasis sekolah (MBS)
4)
Apa Pengaruh
penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah,
dan dewan sekolah?
5)
Apa Syarat
Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
6)
Apa
karakteristik manajemen berbasis sekolah (MBS)
7)
Manajemen
berbasis sekolah (MBS) sebagai proses Pemberdayaan
1. Pengertian Manajemen Sekolah
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi ( administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
1. merencanakan (planning),
2. mengorganisasikan (organizing),
3. mengarahkan (directing),
4. mengkoordinasikan (coordinating),
5. mengawasi (controlling), dan
6. mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Manajemen berbasis sekolah
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia,
gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan
otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini,
sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk
menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali
tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara
mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya
diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan
sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa saja
muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan
guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran
birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian.
Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah
menyusut lebih dari separuhnya.
Kita
khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan
sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan
dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
MBS adalah
upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan
melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung
jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab
itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat,
masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya
terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di
tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah
mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau
Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan
Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu
dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak
dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen
berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari
Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation)
merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi
dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola
merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada
desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis
sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan, tatapi juga
menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas.
Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di masing-masing negara,
yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara.
Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah
3. Manfaat
manajemen berbasis sekolah (MBS)
MBS dipandang
sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan
wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan
pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari
pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya
merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan
penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan
kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang
tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa
manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut :
1)
Memungkinkan
orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan
meningkatkan pembelajaran.
2)
Memberi
peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
penting.
3)
Mendorong
munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4)
Mengarahkan
kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di
setiap sekolah.
5)
Menghasilkan
rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari
keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program
sekolah.
6)
Meningkatkan
motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
4. Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat
(Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan Manajemen sekolah?
(Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan Manajemen sekolah?
Penerapan MBS
dalam sistem yang pemerintahan yang masih cenderung terpusat tentulah akan
banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa penerapan MBS akan sangat sulit jika
para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri
kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang
haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman besar.
MBS
menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih
banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah.
Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah
pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mencakup standar
kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian,
standar kualifikasi guru, dan sebagainya. Penerapan standar disesuaikan dengan
keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah
(dinas pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun,
pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi
setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif.
Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung
kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus mampu memberikan bantuan jika
sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang
ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi.
Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah
berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Kita belum
memiliki pengalaman dengan dewan sekolah, ada rencana untuk mengadakan dewan
pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan
dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat
distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum
pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di
Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah
masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan
sekolah tidak banyak berubah.
Dalam rangka
penerapan MBS di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar akan
terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan
memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan
pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih
menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan
standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan
sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi
kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya),
sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku
pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.
Di Amerika
Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang disebut dewan manajemen sekolah
(school management council). Dewan ini beranggotakan kepala sekolah, wakil
orang tua, wakil guru, dan di beberapa tempat juga anggota masyarakat lainnya,
staf administrasi, dan wakil murid. Dewan ini melakukan analisis kebutuhan dan
menyusun rencana tindakan yang memuat tujuan dan sasaran terukur yang sejalan
dengan kebijakan dewan sekolah di tingkat distrik.
Di beberapa
distrik, dewan manajemen sekolah mengambil semua keputusan pada tingkat
sekolah. Di sebagian distrik yang lain, dewan ini memberi pendapat kepada
kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya. Kepala sekolah memainkan peran
yang besar dalam proses pengambilan keputusan, apakah sebagai bagian dari
sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.
Dalam hampir
semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam jumlah
tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah
menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk
pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan
transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke
setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah
dan jenis murid di setiap sekolah.
Setiap
sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang dialokasikan kepada mereka
untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan pemeliharaan. Kemungkinan
variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat terjadi dan tidak perlu
disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya, di sebagian daerah,
sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun berikutnya atau dialihkan ke
program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan cara ini, didorong adanya
perencanaan jangka panjang dan efisiensi.
5. Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu
diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi,
manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini
ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat,
khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan,
kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.
Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang
berikut.
1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
6. Hambatan
Dalam Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1) Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2). Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3). Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4) Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5) Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6). Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1) Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2). Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3). Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4) Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5) Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6). Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila
pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat
memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua
unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan
tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang
berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja
tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada
level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
7. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi Belajar Murid
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
Kita belum
memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar
murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya mengaitkan
MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian
kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan
apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih
banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya
MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar
mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasikan sejauhmana
sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah satu
studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa
dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu
menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di
sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama
pula.
Hasil MBS di
daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran kota
Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama
di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah
rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County,
Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di
sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Meskipun
peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan
MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak
langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di
Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan
menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru
memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan
staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid
sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah
diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang
penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah
atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih nyaman dan lebih sedikit murid yang bermasalah.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih nyaman dan lebih sedikit murid yang bermasalah.
Namun, survei
yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular di
kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei menyatakan
bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal meningkatkan
prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden yang menyangkal
bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.
Studi-studi
terkini (Caldwell & Hayward, 1998; Caldwell & Spinks, 1998; Fullan
& Watson, 2000; Ouchi & Segal, 2003; Volansky & Friedman, 2003)
telah menggarisbawahi pentingnya pembuatan keputusan setempat yang sejak awal
tertuju pada belajar dan mengajar dan dukungan terhadap belajar dan mengajar,
terutama dalam membangun kapasitas staf untuk mendesain dan menyampaikan
kurikulum dan pembelajaran yang memenuhi kebutuhan siswa, dengan memperhatikan
prioritas kebutuhan setempat, termasuk kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan
memonitori keluaran. Juga terlihat pentingnya membangun kapasitas masyarakat
untuk mendukung upaya sekolah. Dengan kata lain, penerapakn manajemen berbasis
sekolah mungkin tidak berdampak pada belajar kecuali aturan-aturan ini, yang
secara umum disebut peningkatan kapasitas dan pemanfaatan kapasitas, telah
berhasil.
Di tingkat
makro, studi internasional tentang prestasi siswa seperti TIMSS dan TIMSS-R dan
PISA dan PISA telah mengkonfirmasi pentingnya keseimbangan antara sentralisasi
dan desentralisasi, dengan manajemen berbasis sekolah relatif lebih tinggi
sebagai satu unsur desentralisasi, termasuk pembuatan keputusan lokal
menyangkut masalah personel, profesionalisme, monitoring keluaran, dan
membangun dukungan masyarakat.
Hal-hal di
atas mencerminkan pentingnya modal intelektual dan modal sosial dalam membangun
satu sistem sekolah yang mengelola diri sendiri. (self-managing school).
Membangun modal intelektual merupakan contoh pengembangan kapasitas, yang
dibahas lebih rinci pada proposisi 11. Modal sosial merujuk pada membangun
hubungan yang saling mendukung di antara sekolah, rumah, masyarakat, lembaga
keagamaan, dunia usaha dan industri, dan lembaga lain di sektor publik dan
swasta.
Pengalaman
menunjukkan bahwa, batapapun kuatnya kehendak strategis, diperluan waktu
betahun-tahun agar pergeseran dalam keseimbangan antara sentralisasi dan
desentralisasi memungkinkan desentralisasi berdampak pada keluaran. Ini
merupakan pengesahan satu legislasi untuk pergeseran kewenangan, otoritas,
tanggung jawab, dan pengaruh dari satu tingkat ke tingkat lain pergeseran itu
merupakan perubahan dalam struktur. Pergeseran lain adalah membangun kapasitas
agar diperoleh dampak yang diharapkan dari belajar dan mengubah kultur di semua
tingkat.
Satu
implikasi penting adalah, pemimpin sekolah harus memastikan bahwa dia dan
koleganya memperbarui pengetahuan tentang praktik yang baik dalam peningkatan
sekolah, dan bahwa membangun modal sosial dan intelektual merupakan inti
pekerjaan pemimpin senior di sekolah
Dalam praktik
penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS
dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan
sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala
sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana
administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua
mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar
ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka
seringkali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang
baru.
Ada juga Tim
MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran. Pengamatan
penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan perhatian pada
kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan murid
ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi bahwa
MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis
administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran
kepemimpinan pendidikannya diabaikan.
Namun,
kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit
bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak
skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu.
Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian
besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya.
Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi
pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh
seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.
8. Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi Belajar ?
MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung jawab atas kinerja mereka.
MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung jawab atas kinerja mereka.
Penerapan MBS
yang efektif seyogyanya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang
pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada
keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan
prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan
hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah
yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk
berhasil.
Pertanyaannya,
sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di
Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan
yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk
melakukan perubahan.
Manajemen
berbasis sekolah telah menimbulkan perdebatan karena berbagai kekuatan
pendorong telah membentuk kebijakan, dan kekuatan-kekuatan ini telah tercermin
atau diduga mencerminkan preferensi politik atau orientasi ideologi. Manajemen
berbasis sekolah yang digerakkan oleh kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat
dan peningkatan profesi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Pusat.
Manajemen berbasis sekolah telah digerakkan oleh kepentingan untuk memberikan
kebebasan yang lebih besar atau lebih banyak diferensiasi sering diasosiasikan
dengan pemerintahan Daerah, Manajemen berbasis sekolah yang telah digerakkan,
dimana manajemen berbasis sekolah sering dipandang sebagai manifestasi dari
upaya menciptakan satu pasar di antara sekolah dalam sistem pendidikan umum.
Manajemen
berbasis sekolah sering menimbulkan perdebatan pada tahap-tahap awal
pengadopsian, tetapi ia terus diterima setelah beberapa waktu, sedemikian rupa
sehingga hanya sedikit pemangku kepentingan ingin kembali pada pendekatan yang
lebih sentralistik dalam mengelola sekolah.
Akan tetapi
ada pengecualian penting, terutama mengenai kasus di Hong Kong – Cina. School
Management Initiative (SMI) merupakan inisitatif manajemen berbasis sekolah
mulai awal 1990-an. Tetapi pelaksanaannya lambat, terutama pada sektor yang
dibantu, dimana banyak orang berpendapat bahwa SMI menghambat ketimbang
memberdayakan. Leung (2003) menyimpulkan bahwa “tujuan reformasi desentralisasi
oleh pemerintah adalah memperkuat kendali dan memastikan mutu pendidikan
melalui teknik-teknik manajemen. Yaitu bahwa ‘mutu’ diartikan dalam hal
penggunaan sumber daya yang lebih efisien, asesmen keluaran (outcome),
indikator kinerja, dan evaluasi eksternal. Bukan pembagian kewenangan ataupun
pemberdayaan stakeholder menjadi tujuan”. Reformasi tetap menjadi perdebatan di
Hong Kong.
Dalam analisis
terakhir, meskipun ada kekuatan pendorong yang lain, kriteria kritis untuk
menilai efektivitas reformasi yang mencakup manajemen berbasis sekolah adalah
sejauh mana manajemen berbasis sekolah mengarah pada atau berhubungan dengan
pencapaian hasil belajar yang membaik, termasuk prestasi siswa ke tingkat yang
lebih tinggi, bagaimana pun mengukurnya.
Belakangan
banyak terjadi perubahan dalam pandangan bahwa tujuan utama manajemen berbasis
sekolah adalah peningkatan hasil pembelajaran, dan untuk alasan inilah,
kebanyakan pemerintahan memasukkan manajemen berbasis sekolah dalam kebijakan
bagi reformasi pendidikan.
Satu
implikasi penting adalah bahwa pemimpin sekolah harus memastikan bahwa
perhatian masyarakat sekolah (termasuk tenaga kependidikan) tidak hentinya
difokuskan pada hasil belajar siswa, dan ini harus menjadi kepedulian utama
meskipun makna manajemen berbasis sekolah sangat sering menimbulkan perdebatan.
Para pengeritik sering mengutip temuan ini. Akan tetapi banyak dari penelitian terdahulu hanya mengambil informasi atau opini dari sistem dimana dampak dari keluaran tidak pernah menjadi tujaun utama, atau bahkan tujuan kedua.
Para pengeritik sering mengutip temuan ini. Akan tetapi banyak dari penelitian terdahulu hanya mengambil informasi atau opini dari sistem dimana dampak dari keluaran tidak pernah menjadi tujaun utama, atau bahkan tujuan kedua.
Hal ini
terutama berlaku bila manajemen berbasis sekolah diimplementasikan sebagai satu
strategi untuk membongkar birokrasi pusat yang besar, mahal, dan tidak
responsif atau sebagai satu strategi untuk memberdayakan masyarakat dan
profesional. Bahkan ketika dampak atas keluaran menjadi tujuan utama, sulit
menarik kesimpulan terhadap dampak karena database tentang prestasi siswa lemah.
Satu telaah
terhadap penelitian (Caldwell, 2002) menunjukkan bahwa telah ada tiga generasi
studi, dan justeru pada studi generasi ketiga bahwa bukti dampak pada hasil
ditemukan, tetapi hanya bila kondisi-kondisi tertentu dipenuhi. Generasi
pertama adalah saat di mana dampak atas hasil tidak menjadi tujuan utama atau
kedua. Generasi kedua adalah ketika dampak menjadi tujuan utama atau kedua
tetapi database lemah. Ketiga, muncul pada akhir 1990-an dan dengan
mengumpulnya momentum awal 2000-an, yang berbarengan dengan kepedulian terhadap
hasil belajar dan pengembangan database yang kuat.
Satu implikasi penting adalah, para pemimpin sekolah harus sadar bahwa manajemen-diri tidaklah selalu berdampak pada hasil belajar siswa dan mereka harus melakukan setiap upaya untuk menjamin bahwa ada mekanisme untuk menghubungkan manajemen dengan beberapa area dalam pelaksanaan sekolah.
Satu implikasi penting adalah, para pemimpin sekolah harus sadar bahwa manajemen-diri tidaklah selalu berdampak pada hasil belajar siswa dan mereka harus melakukan setiap upaya untuk menjamin bahwa ada mekanisme untuk menghubungkan manajemen dengan beberapa area dalam pelaksanaan sekolah.
Hasil
penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata
sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif. Ada yang
kosong-kosong. Ada pula yang positif.
Penelitian
yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal
tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata
negatif, “there is virtually no firm”. Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan
yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that evidence of a direct
cause-and-effect relationship between self-management and improved outcomes is
minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan antara MBS
dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat
dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan kejadian
di ruang kelas.
Sebaliknya,
Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa
”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and
commitment and on the school’s achievement”.
Pemberian
otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap
motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan
William (1997) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the
increase decision-making power of principals has allowed them to introduce
innovative programs and practices”. Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam
pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan praktik
(penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif. Geoff Spring, arsitek reformasi di
Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa “school-based management has
led to higher student achievement” De Grouwe (1999).
Hal yang
menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa
“enhanced community and parental involvement in EDUCO schools has improved
students’ language skills and diminished absenteeism”. Jemenez dan Sawada
(1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua siswa mempunyai
dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.
9. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
1. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
1. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2. Membangun
budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel.
Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada
masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan
oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif.
Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster
tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan
ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah
pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain,
pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam
rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan
block grant yang diterima sekolah.
4.
Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan
pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada
sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai
lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama
berupa penataran MBS.
Kesimpulan.
Satu cara
yang berguna dalam menyimpulkan adalah melihat tantangan sebagai satu cara
menciptakan suatu jenis sistem pendidikan baru yang sesuai abad ke-21. Kita
membutuhkan sistem-sistem baru yang terus-menerus mampu merekonfigurasi kembali
dirinya untuk menciptakan sumber nilai publik baru. Ini berarti secara
interaktif menghubungkan lapisan-lapisan dan fungsi tata kelola yang berbeda,
bukan mencari cetak biru (blueprint) yang statis yang membatasi berat
relatifnya.
Pertanyaan
mendasar bukannya bagaimana kita secara tepat dapat mencapai keseimbangan yang
tepat antara lapisan-lapisan pusat, regional, dan lokal atau antara
sektor-sektor berbeda: publik, swasta, dan sukarela. Justeru, kita perlu
bertanya Bagaimana suatu sistem secara keseluruhan menjadi lebih dari sekedar
jumlah dari bagian-bagiannya ?. (Bentley & Wilsdon, 2004).
Secara
sederhana dikatakan, manajemen berbasis sekolah bukanlah “senjata ampuh” yang
akan menghantar pada harapan reformasi sekolah. Bila diimplementasikan dengan
kondisi yg benar, ia menjadi satu dari sekian strategi yang diterapkan dalam
pembaharuan terus-menerus dengan strategi yang melibatkan pemerintah,
penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu sistem sekolah.
Referensi
Caldwell, B. J. (2002). Autonomy and self-management: Concepts and evidence. In Bush, T., & Bell, L. (Eds.), The Principles and Practice of Educational Management’ (pp. 21-40 ). London: Paul Chapman Publishing.
Bentley, T. & Wilsdon, J. (2004). The Adaptive State: London: Demos.
Caldwell, B. J., & Hayward, D. K. (1998). The Future of Schools: Lessons from the Reform of Public Education. London: Falmer Press.
Caldwell, B. J., & Spinks, J. M. (1998). Beyond the Self-Managing School. London: Falmer Press.
Fullan, M., & Watson, N. (2000). School-based management: Reconceptualizing to improve learning outcomes. School Effectiveness and School Improvement, 11(4), 453-474.
Hargreaves, D. (2003). Education Epidemic. London: Demos.
Jesson, D. (2004). Educational Outcomes andValueAdded by Specialist Schools. London: Specialist Schools Trust.
Leung, Y.H. (2003). The politics of decentralization: A case study of school management reform in Hong Kong. In Mok, K.H. (Ed.), Centralization and Decentralization: Educational Reforms and Changing Governance in Chinese Societies (pp. 21-38). Hong Kong: Comparative Education Research Centre, The University of Hong Kong, & Kluwer Academic Publishers.
LLECE (2002). Qualitative Study of Schools with Outstanding Results in Seven Latin American Countries. Report of the Latin American Laboratory for Assessment of the Quality of Education (LLECE). Santiago: UNESCO.
Ouchi, W. G., & Segal, L. G. (2003). Making Schools Work: A Revolutionary Plan To Get Your Children The Education They Need. New York: Simon & Schuster.
Prime Minister’s Delivery Unit (2003). ‘Key Stage 4 Priority Review: Final Report’. London: PMDU.
Ross, K. N., & Levacic, R. (Eds.). (1999). Needs-Based Resource Allocation in Education Via Formula Funding of Schools. Paris: International Institute for Educational Planning, UNESCO.
Volansky, A., & Friedman, I. A. (2003). School-based management: An International Perspective. Israel: Ministry of Education.
American Association of School Administrators, National Association of Elementary
School Principals, and National Association of Secondary School Principals. School-
Based Management: A Strategy for Better Learning. Arlington, Virginia: 1988.
David Peterson, School-Based Management and Student Performance,
Caldwell, B. J. (2002). Autonomy and self-management: Concepts and evidence. In Bush, T., & Bell, L. (Eds.), The Principles and Practice of Educational Management’ (pp. 21-40 ). London: Paul Chapman Publishing.
Bentley, T. & Wilsdon, J. (2004). The Adaptive State: London: Demos.
Caldwell, B. J., & Hayward, D. K. (1998). The Future of Schools: Lessons from the Reform of Public Education. London: Falmer Press.
Caldwell, B. J., & Spinks, J. M. (1998). Beyond the Self-Managing School. London: Falmer Press.
Fullan, M., & Watson, N. (2000). School-based management: Reconceptualizing to improve learning outcomes. School Effectiveness and School Improvement, 11(4), 453-474.
Hargreaves, D. (2003). Education Epidemic. London: Demos.
Jesson, D. (2004). Educational Outcomes andValueAdded by Specialist Schools. London: Specialist Schools Trust.
Leung, Y.H. (2003). The politics of decentralization: A case study of school management reform in Hong Kong. In Mok, K.H. (Ed.), Centralization and Decentralization: Educational Reforms and Changing Governance in Chinese Societies (pp. 21-38). Hong Kong: Comparative Education Research Centre, The University of Hong Kong, & Kluwer Academic Publishers.
LLECE (2002). Qualitative Study of Schools with Outstanding Results in Seven Latin American Countries. Report of the Latin American Laboratory for Assessment of the Quality of Education (LLECE). Santiago: UNESCO.
Ouchi, W. G., & Segal, L. G. (2003). Making Schools Work: A Revolutionary Plan To Get Your Children The Education They Need. New York: Simon & Schuster.
Prime Minister’s Delivery Unit (2003). ‘Key Stage 4 Priority Review: Final Report’. London: PMDU.
Ross, K. N., & Levacic, R. (Eds.). (1999). Needs-Based Resource Allocation in Education Via Formula Funding of Schools. Paris: International Institute for Educational Planning, UNESCO.
Volansky, A., & Friedman, I. A. (2003). School-based management: An International Perspective. Israel: Ministry of Education.
American Association of School Administrators, National Association of Elementary
School Principals, and National Association of Secondary School Principals. School-
Based Management: A Strategy for Better Learning. Arlington, Virginia: 1988.
David Peterson, School-Based Management and Student Performance,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar