Dalam kurun waktu seminggu
pemberitaan media massa menyuguhkan berkisar mengenai maraknya tawuran pelajar
yang mengakibatkan jatuhnya korban meninggal dunia. Banyak kalangan yang menilai membahas masalah
tawuran harus secara komprehensif, harus secara menyeluruh, masalah tawuran
bukan hanya tanggungjawab pendidikan formal melalui institusi sekolah, masalah
tawuran adalah juga menjadi tanggungjawab pendidikan informal keluarga
didalamnya dan juga pendidikan nonformal dimana lingkungan masyarakat berperan.
Memahami
terjadinya tawuran mau tidak mau harus memahami karakteristik pelajar di usia
remaja. Pelajar SMA masuk dalam usia remaja, usia remaja disebut juga sebagai
masa transisi dimana terjadi perubahan pada diri remaja baik secara fisik, psikis maupun sosial, dalam
masa transisi tersebut remaja cenderung melakukan penyimpangan salah satunya
tawuran. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di usai remaja terutama pada
anak SMA semisal tawuran bukan hanya karena faktor masa transisi namun
diperburuk dengan pola asuh dalam keluarga atau kondisi keluarga, faktor
solidaritas pertemanan, lemahnya kurikulum sekolah, lemahnya peran guru dalam
mendidik di sekolah dan lemahnya masyarakat dalam melakukan pendidikan sosial
dan kontrol sosial.
Keluarga merupakan lingkungan sosial
pertama yang memberikan pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembang remaja. Keluarga
yang penuh kehangatan, penuh cinta dan penuh keharmonisan, keluarga yang
memahami benar akan urgensi mendidik anak di usia remaja dengan melakukan pola
asuh berupa pengembangan komunikasi antara orang tua dan anak, penanaman
nilai-nilai agama, memberi peran dan tanggung jawab, memberikan pujian atau
penghargaan, mengembangkan kerja sama, menanamkan saling mengasihi dan hormat,
pemberian contoh dan memelihara keakraban dalam keluarga akan menjadikan
kepribadian remaja berkarakter kokoh, kuat dan mulia sehingga akan menurunkan
kemungkinan remaja melakukan penyimpangan. Sebaliknya keluarga yang tidak
harmonis, akan meningkatkan kemungkinan remaja melakukan penyimpangan semisal
memakai narkoba, clubbing, dan tawuran.
Dalam mengatasi permasalahan tawuran bukan hanya keluarga namun
juga peran sekolah sangat penting, sekolah sebagai institusi pendidikan harus
fokus pada tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam UU Sisdiknas No. 20
Tahun 2003 yaitu memastikannya berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab, jika seluruh institusi pendidikan fokus
pada pencapaian tujuan pendidikan maka dipastikan akan menurunkan angka tawuran
antar pelajar. Sekolah yang bermutu tidak hanya sekolah yang telah memenuhi 8
standar nasional pendidikan, sekolah bermutu bukan hanya sekolah yang mampu
menuntaskan kurikulum pendidikan dengan hasil yang memuaskan sekolah bermutu
juga sekolah yang mampu menyiapkan peserta didik sebagai bagian dari pemberi
solusi atas setiap permasalahan bangsa sekolah yang mampu melahirkan
generasi-generasi unggul berkarakter kuat dan mulia dan itu semua lahir dari kesadaran kolektif seluruh warga sekolah
seperti kepala sekolah dalam merumuskan kebijakan, mengevaluasi kebijakan, guru
konsisten mengajar sesuai 4 kompetensi dan
menyisipkan nilai-nilai karakter dalam setiap pembelajaran, mengenali,
mengembangkan dan mengarahkan minat dan bakat peserta didik serta memahami,
mengamati dan mengarahkan kecenderungan berkelompok peserta didik.
Peran yang dapat menurunkan bahkan menghilangkan
tawuran selain keluarga, dan sekolah adalah masyarakat. Masyarakat dapat
melakukan fungsi controling dengan cara memberikan informasi jika ada indikasi
para pelajar akan melakukan tawuran atau pelajar menitipkan benda-benda tajam
disekitar lingkungan sekolah seperti diwarung dekat sekolah.
Akhirnya remaja yang masuk dalam masa transisi
memerlukan 10 kebutuhan psikologis antara lain kebutuhan fisiologis, kebutuhan
rasa aman, kebutuhan rasa cinta, kebutuhan penghargaan, kebutuhan pengetahuan,
kebutuhan kesuksesan, kebutuhan afiliasi, kebutuhan motivasi, kebutuhan akan
kebebasan dan kebutuhan akan kontrol. Jika 10 kebutuhan psikologis remaja
tersebut terpenuhi baik dalam keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat
maka akan tumbuh remaja-remaja ideal yang unggul, remaja-remaja yang siap
meneruskan estafet perjalanan bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar